Monday 26 November 2018

Tapak Tilas Sejarah Al Washliyah

Al Jam'iyatul Washliyah (الجمعيةالوصليه ) adalah salah satu organisasi Islam di Indonesia. Kata Al jam'iyatul Washliyah berasal dari Bahasa Arab Yang artinya Perkumpulan atau perhimpunan yang menghubungkan, baik yang menghubungkan Manusia dengan Allah (hablun minallah) dan yang menghubungkan Manusia dengan Manusia (hablun minannas).
Tujuan utama berdirinya organisasi Al Washliyah ketika itu adalah sebagai sarana pemersatu umat yang berpecah belah dan berbeda pandangan. Perselisihan tersebut merupakan bagian dari strategi Belanda untuk terus berkuasa di bumi Indonesia, kemudian Organisasi Al Washliyah menggalang persatuan ummat untuk melawan penjajahan belanda di muka bumi indonesia, hingga diraihnya kemerdekaan.
Penjajah Belanda yang menguasai bumi Indonesia terus berupaya agar bangsa Indonesia tidak bersatu, sehingga mereka terus mengadu domba rakyat. Segala cara dilakukan penjajah agar rakyat berpecah belah. Karena bila rakyat Indonesia bersatu maka dikhawatirkan bisa melawan pejajah Belanda. Upaya memecah belah rakyat terus merasuk hingga ke sendi-sendi agama Islam. 
Umat Islam kala itu dapat dipecah belah karena disibukkan dengan perbedaan pandangan dalam hal fur’iah. Kondisi ini terus meruncing, hingga umat Islam terbagi menjadi dua kelompok yang disebut dengan kaum tua dan kaum muda. Perbedaan paham di bidang agama ini semakin hari kian tajam dan sampai pada tingkat meresahkan.
Dengan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam di Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, pelajar yang menimba ilmu di Maktab Islamiyah Tapanuli Medan, berupaya untuk mempersatukan kembali umat yang terpecah belah itu. Upaya untuk mempersatukan umat Islam terus dilakukan hingga akhirnya terbentuklah organisasi Al Jam’iyatul Washliyah pada tanggal 30 November 1930 atau 9 Rajab 1349 Hijriah di Maktap Islamiyah Tapanuli Selatan, Medan. Adapun Tokoh pendiri Al Alwashliyah yakni Ismail Banda, Abdurrahman Syihab, Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Adnan Nur Lubis, Syamsudin, Yusuf Ahmad Lubis.

#Dikutip Dari Berbagai Sumber

Mengenal Sosok : Mengapa Disebut TGT ?, Ini Alasannya.

TGT merupakan singkatan dari kata “Tuan Guru Tampan”
Ya, julukan TGT tersebut diberikan oleh beberapa kalangan untuk salah seorang ustadz yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Labuhanbatu Utara yang kini tengah menjadi perbincangan di kalangan warga Net belum lama ini.
Ustadz Mulkan Silaen, MA, begitu nama beliau. Seorang ustadz kelahiran Gunting Saga, 24 Maret 1983 ini ternyata telah melanglang buana dalam bekecimpung di dunia dakwah lintas Kabupaten dan lintas Provinsi.
Pendidikan terakhir beliau adalah Strata Dua (S2) Program Studi Tafsir Hadis di Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara pada tahun 2012. Pada saat Program Strata Satu (S1), beliau adalah alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. Dan Saat ini, beliau tengah menempuh Strata Tiga (S3) Program Studi Ilmu Hadis di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Selain berdakwah dan membina umat, aktifitas beliau adalah sebagai seorang dosen tetap, di Universitas Al Washliyah (Univa) Labuhanbatu.
Lantas, apakah sebab beliau di juluki Tuan Guru Tampan (TGT) ?Sebagian mahasiswa beliau mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa beliau di juluki TGT. Seperti yang dikatakan "R" misalnya, beliau mengatakan ada beberapa poin sehingga ia dijuluki TGT.
"Ustadz Mulkan sering kami juliki TGT pertama ya, karena ustadz itu memang lumayan tampan, muda, enerjik, seorang Qori', dan yang paling penting beliau masuk keberbagai usia, termasuk usia muda". Ucap "R" yang enggan disebutkan namanya.

#Berbagai_Sumber


Sunday 25 November 2018

Tapak Tilas Sejarah Para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa



25 November, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hari Guru Se-Indonesia ini dirayakan sebagai bentuk penghargaan atas jasa para guru, yang di anggap sebagai sang pahlawan tanpa tanda jasa. 

Mengapa tanggal 25 November dipilih sebagai Hari Guru? Mengutip berbagai sumber, tanggal 25 November ditetapkan sebagai Hari Guru berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994. 
Berbeda dengan perayaan Hari Guru di negara lainnya, Hari Guru Nasional di Indonesia bukanlah menjadi hari libur nasional. Biasanya, sekolah-sekolah merayakan Hari Guru dan Hari PGRI dengan upacara.Tidak hanya itu, pemberian tanda jasa kepada guru juga diberikan.
Perayaan pengabdian dan jasa para guru diperingati bersamaan dengan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI. PGRI sendiri terbentuk pada 25 November 1945 oleh Rh. Koesnan, Djajeng Soegianto, Amin Singgih, Soetono, Soemidi Adisasmito, Ali Marsaban, dan Abdullah Noerbambang. Namun sebelum akhirnya menjadi persatuan para guru, perkumpulan ini bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). 
PGHB ini didirikan pada 1912, dengan beranggotakan kepala sekolah, guru bantu, guru desa, sampai kepada perangkat sekolah lainnya. Seiring berjalannya waktu, keanggotaan mereka semakin lama semakin berkembang dan makin menasional. Mereka pun memutuskan untuk mengubah nama PGHB menjadi persatuan Guru Indonesia (PGI). Nama ini tak ayal membuat pemerintah Belanda kaget, sebab ada nama Indonesia di dalamnya. Bagi pemerintah Belanda hal ini dianggap sebagai sebuah ancaman untuk pemerintahan mereka. 
Perubahan nama ini dilakukan pada tahun 1932. Perjuangan untuk memerdekakan Indonesia pelan-pelan akhirnya makin kuat bersama para guru, satu per satu jalan semakin terbuka. Namun memasuki penjajahan Jepang, PGI tidak lagi melakukan aktivitas dan organisasi pun dilarang.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, membuat PGI menggelar Kongres Guru Indonesia untuk yang pertama kalinya pada 24-25 November 1946 di Surakarta, Jawa Tengah. 

Salah satu hasil Kongres itu adalah untuk menghapuskan perbedaan suku, ras, agama, politik, dan lainnya untuk bergabung menjadi satu Indonesia. Pada 25 November 1945, mereka mensahkan terbentuknya PGRI. Sebagai salah satu bentuk penghormatan pada para guru, pemerintah pun menetapkan hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional. 

#Berbagai Sumber

Wednesday 7 November 2018

Renungan Kader, Eksistensi Dalam Dinamika

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), merupakan suatu wadah organiasi Perkaderan bagi mahasiswa Islam sebagai tempat berproses untuk melakukan pengabdian ke-umatan. Organisasi besutan Prof. Lafran Pane yang didirikan pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan 5 Februari 1947 ini kini tengah menyebar luas di berbagai perguruan tinggi diberbagai daerah di Indonesia, melahirkan lebih dari 6.000.000 alumni, 600.000 kader aktif dan 211 lebih cabang se-antero bumi ibu pertiwi, tidak terkecuali di Labuhanbatu Raya.
Proses perkaderan yang dilakukan secara terus-menerus adalah alasan tepat mengapa organisasi yang sudah berusia lanjut ini masih tetap eksis di NKRI dalam menggapai asanya yang identik dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Dan yang tidak kalah penting dari eksistensi yang masih tetap bertahan tersebut adalah dinamikanya yang tinggi, walaupun tidak jarang dinamika itu harus menguras pikiran, tenaga, waktu, dan materi.
Namun demikian, disadari atau tidak, secara alamiah terkadang justru dinamika itulah yang menjadi proses pendewasaan bagi setiap kader-kader HMI dimanapun berada. Dan hal tersebut, telah terjadi di HMI Cabang Labuhanbatu Raya, sebuah dinamika panjang yang memakan waktu lebih dari 2 tahun lamanya.

24 September 2016, adalah awal hingga terjadinya dinamika panjang tersebut. Saat dimana dilaksanakannya Konferensi Cabang (Konfercab) ke VIII yang berlangsung di Gedung PKK Kabupaten Labuhanbatu yang harus berujung kepada terpecah belahnya kader HMI Se-Kawasan Cabang Labuhanbatu Raya.
Terpecah bukan berarti pecah secara totalitas layaknya suatu konflik, melainkan pecah karena adanya perbedaan pandangan dan perbedaan muara gerakan. Disaat itulah kader HMI Cabang Labuhanbatu Raya ditengah-tengah publik seakan dianggap dualisme. Ya, Suatu kondisi pahit yang tidak jarang menyebabkan terjadinya gesekan di internal kader, memudarnya silaturahmi dan bahkan tidak jarang sampai hujat-menghujat.

Lantas apa sebabnya hal itu terjadi ? Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mempertahankan eksistensi, antara siapa yang legal dan siapa yang illegal, siapa yang benar dan siapa yang salah.
Hari-hari berganti hari, bulan berganti bulan, dinamika panjang itu ternyata bukan mengurangi eksistensi HMI, justru sebaliknya malah menaikkan eksistensi HMI itu sendiri. Bagaimana tidak, dua faksun yang berdinamika tersebut saling menunjukkan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat, seakan berjalan lebih cepat dan berbuat lebih banyak, atas nama HMI.

Namun apalah arti suatu eksistensi, kalau dalam prosesnya terjadi saling sikut-menyikut. Apalah arti suatu eksistensi, kalau dalam prosesnya harus saling menghujat. Apalah arti suatu eksistensi kalau dalam prosesnya membuat memudarnya silaturahmi. Apalah arti suatu eksistensi, kalau dahulunya yang saling tegur sapa kini harus membuang muka. Apalah arti suatu eksistensi kalau yang dahulunya sering bercanda tawa kini harus berjauhan. Apalah arti suatu eksistensi ,kalau yang dahulunya sering makan sepiring berdua bahkan lebih kini harus berjauhan.

Eksistensi itu takkan berguna sama sekali, kalau pada akhirnya harus berujung kepada perpecahan diantara sesama..!

Saudaraku, sehimpun secita.
Kalau kita mau bertanya kepada hati kecil dengan mengesampingkan ke-egoan kita masing-masing, sedikit banyaknya keinginan untuk kembali seperti dahulu pasti sempat terdetak. Namun karena sudah terlanjur melangkah terlalu jauh, dinamika terlanjur menjadi benang kusut, hingga tidak jarang akhirnya detakan hati kecil itu kita abaikan dan egoisme-lah yang menjadi pemenang!

Saudaraku, sehimpun secita.
Semua kita barangkali sepakat, dinamika tersebut terjadi adalah demi bendera tercinta, bendera yang menjadi kebanggaan kita bersama, Himpunan Mahasiswa Islam.

Saudaraku, sehimpun secita.
Mari merenung sejenak, mari kita ingat masa-masa saat kita LK I, mari kita ingat saat-saat kita diajarkan tentang arti sebuah kebersamaan, mari kita resapi kekhilafan yang telah kita lakukan atas nama sang hijau hitam, mari kita tanya diri kita seberapa besar ke-egoan kita, mari kita niatkan dalam hati hati kecil kita untuk tidak mengulangi kondisi itu kembali.

Saudaraku, sehimpun secita.
Alangkah berdosanya kita kalau harus terjerumus kembali kedalam dinamika panjang itu, alangkah berdosanya kita yang sering mendengungkan di HMI lebih dari saudara kalau harus kembali kepada dinamika panjang itu.

Saudaraku, sehimpun secita.
Mari berbenah, mari memperbaiki, mari melangkah, mari kembali menyatukan kekuatan, masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk kita lakukan daripada harus berdinamika.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Pada tanggal 03 November 2018, HMI Cabang Labuhanbatu Raya telah kembali melebur dalam satu Visi dan Misi pada kepengurusan periodesasi 2018-2019. Terlepas bagaimanya proses hingga peleburan itu terjadi, namun prosesi hikmat tersebut haruslah diakui akan kebenarannya. Peleburan yang diikat dengan sumpah suci dalam prosesi Pelantikan Pengurus yang berasal dari seluruh keterwakilan Komisariat se-kawasan yang digelar di gedung PKK Kabupaten Labuhanbatu. Tempat dimana awal terjadinya dinamika panjang dahulu.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Mari menatap kedepan, kita jadikan kisah kelam dinamika panjang tersebut sebagai I’tibar untuk kita memperbaiki diri agar lebih baik lagi. Yang lalu biarlah berlalu, lupakan semua percekcokan yang dahulu mungkin sempat terkuak, lupakan semua pertikaian yang dahulu mungkin sempat terjadi.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Mari berbenah, tidak ada kata terlambat, mari saling membuka hati untuk bisa memaafkan, biarlah kejadian kelam tersebut menjadi pembelajaran kedepan nantinya, pembelajaran yang dapat menjadi ilmu untuk generasi berikutnya bahwa tidak ada gunanya suatu perpecahan.

Saudaraku, sehimpun secita yang berbahagia.
Bukan maksud hati untuk menggurui, bukan maksud hati untuk menyakiti, bukan maksud hati untuk melukai, bukan maksud hati untuk membenci.

Tak ada gading yang tetak, tak ada manusia yang tidak memiliki kesalahan. Demikan halnya dengan penulis, penulis hanyalah manusia biasa yang tak terlepas dari hal tersebut.

Walau tangan tak saling berjabat, walau mata tak saling menatap, barangkali dalam tulisan ini terdapat hati yang terlukai oleh penulis, diatas segala kekurangan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Akhirnya, semoga apa yang kita harapkan senantiasa berada dalam Ke-Ridhoan Allah SWT.

Yakinkan Dengan Iman, Usahakan Dengan Ilmu, Sampaikan Dengan Amal.
Bahagia HMI, Jayalah KOHATI,
Yakin Usaha Sampai.
Wassalam.

Thursday 1 November 2018

Kisah Pilu Perjalanan Bangsa, Tragedi Berdarah 10 November (Hari Pahlawan)

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Britania Raya. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Pulau Jawa secara resmi diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
  • Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.

Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

  • Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. 
Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

  • Perdebatan Tentang Pihak Penyebab Baku Tembak

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg :
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan.."
  • 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan/ milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia. Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia. 
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. 
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu. Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban, pada hari 10 November itu kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Selamat Hari Pahlawan Ke-73 Tahun. Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawan, Jayalah Negeriku, Jayalah Bangsaku, Jayalah Indonesia.